Suntuk di Rumah, Mari Belajar dari Soekarno, Hatta hingga Pramoedya

tokoh bangsa

Modernis.co, Samarinda – Sejak kemunculan dua warga terkonfirmasi positif COVID-19 atau virus corona pada tanggal 2 maret 2020 yang diumumkan oleh Presiden Jokowi. Kini jumlah masyarakat yang dinyatakan positif corona per tanggal 5 maret 2020, jumlah positif virus corona telah mencapai 2000-an dengan 150 diantaranya sembuh dan 191 telah meninggal dunia. Pemerintah baik pada level pusat hingga daerah mengeluarkan kebijakan Physical Distancing (yang sebelumnya disebut Social Distancing).

Masyarakat diminta untuk tidak keluar rumah dalam rangka menjaga jarak antar individu. Banyak sekolah dan perguruan tinggi diliburkan, berbagai pekerjaan dikerjakan di rumah sehingga aktivitas belajar, bekerja hingga beribadah harus dilakukan didalam rumah. Dampaknya, banyak orang mulai merasa bosan bahkan stress karena terus-terusan berada di rumah. Menjalani hari dengan suasana maupun kegiatan yang itu-itu saja.

Di tengah kondisi yang demikian pelik dan membuat banyak orang merasa dirugikan atas keberadaan pandemi ini. Saya ingin mengajak para pembaca untuk belajar dari para pendahulu negeri ini. Mereka yang begitu akrab dengan rasa lapar, ruang yang sempit, fasilitas tak memadai namun tetap melakukan aktivitas memperjuangkan bangsa ini bahkan dari tempat pengasingan!

1. Soekarno

Sebagai tokoh proklamator kemerdekaan sekaligus presiden pertama RI. Salah satu tokoh penting dalam kemerdekaan Indonesia. Soekarno merupakan sosok yang cerdas, terdidik dan kritis. Sifat kritisnya diejawantahkan kepada aktivitas politiknya dalam memperjuangkan hak-hak pribumi yang kala itu dijajah oleh Belanda. Akibatnya, Soekarno tercatat telah merasakan pengasingan di beberapa tempat.

Pertama kali, Soekarno dipenjarakan di penjara Bantjeuy akibat aktivitasnya di Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada tanggal 29 desember 1929. Ia dipenjara selama 8 bulan dan ditempatkan dalam jeruji besi seluas 1,5 x 2,5 meter. Selanjutnya ia sempat ditempatkan di penjara Sukamiskin Bandung di tahun 1930. Pada tahun 1934 hingga 1938 ia diasingkan ke Ende, Flores. Tinggal di rumah sederhana milik penduduk bernama Abdullah.

Selanjutnya ia diasingkan kembali di Bengkulu dari tahun 1938 hingga 1942. Tinggal di rumah seorang pedagang Tionghoa bernama Lion Bwe Seng. Ditempat tersebut banyak barang peninggalannya yang kini disimpan. Setelah kemerdekaan ia juga diasingkan di Berastagi, Sumatera Utara dan Bangka pada tahun 1948 dan 1949. Ketika itu Belanda tengah melakukan Agresi Militer. Tokoh-tokoh penting lain juga diasingkan seperti Hatta, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim.

Lamanya masa pengasingan membuat Soekarno begitu jarang memiliki akses untuk saling bertukar pikiran. Hal tersebut membuat ia drop, merasa sendirian dan kalah telak dari Belanda. Merasa apa yang ia lakukan dan perjuangkan tidak berguna.

Pemenjaraannya di Bantjeuy dikisahkan dalam buku yang ditulis oleh Cindy Adams yang berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2007), “Begitu aku masuk, rambutku dipotong pendek sampai hampir gundul dan aku disuruh memakai seragam tahanan berwarna biru dengan nomor di punggung”.

Banceuy merupakan penjara kelas bawah yang keadaannya kumuh dan usang. “ Tempat itu gelap, lembap dan sumpek. Sesungguhnya, aku diam-diam telah seribu kali membayangkan sebelumnya mengenai ini semua, tetapi ketika pintu berat itu mengurungku untuk pertama kali, rasanya aku mau mati. Ini pengalaman yang meremukkan”, kenang Soekarno.

Ditengah kerasnya tekanan dan terbatasnya sarana-prasarana, Soekarno tetap berjuang memikirkan nasib bangsanya. Didalam masa pengasingannya yang demikian lama, Soekarno memiliki beragam aktivitas yang senantiasa ia lakukan. Dalam rangka menguatkan diri, Soekarno menghabiskan waktu untuk beribadah maupun meditasi. Dilakukan dalam rangka menenangkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dalam pengasingannya di Ende, Soekarno memiliki aktivitas seperti melukis dan menulis naskah drama. Selain itu, ia juga belajar mengenai agama dan pluralisme. Ditempat ini pula ia memperoleh hasil perenungannya mengenai Pancasila. Kini Pancasila merupakan sebuah pilar utama negara kita dalam menjalankan aktvitas berbangsa dan bernegara. Lahir dari tempat pengasingan dengan situasi yang tidak mudah dan akhirnya dapat diatasi atas keteguhan Soekarno untuk memperjuangkan bangsanya.

2. Mohammad Hatta

Menjadi Wakil Presiden pertama RI membuat perjuangan Hatta atas bangsa ini tak jauh berbeda dengan yang dihadapi oleh Soekarno. Hatta memulai pergerakan politiknya sejak saat bersekolah di Handels Hogeschool (sekarang bernama Universitas Erasmus Rotterdam) Belanda tahun 1921-1932. Aktif berkegiatan sekaligus pernah menjadi ketua Perhimpunan Indonesia membuat Hatta dipantau pergerakannya oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak masih berada di Belanda.

Hatta tercatat pernah beberapa kali diasingkan. Pengasingan pertamanya berada di Penjara Glodok pada 25 Februari 1934, kemudian di Boven Digul (Papua) pada tahun yang sama serta di Pulau Banda Neira (Maluku). Pengasingan pertama pada Hatta dilatarbelakangi oleh kepulangannya ke Indonesia (ketika itu Hindia Belanda) keaktifannya bersama Sutan Syahrir dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI).

PNI bentukan Hatta dan Syahrir muncul setelah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) ikut hancur akibat Soekarno yang lebih dulu diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Selain aktif di PNI, Hatta juga begitu rajin mengirimkan tulisan untuk surat kabar ‘Daulat Ra’jat’.

Tulisan mengenai pembelaannya terhadap masyarakat pribumi membuat Pemerintah Hindia Belanda gerah sehingga pengasingan merupakan cara untuk membungkam dirinya. “Selama saya memiliki buku, saya dapat dimana saja. Tak seorang pun menyukai penjara, tetapi meskipun jahat, penjara juga bisa menguntungkan. Ia memperkuat keyakinan kita dan membuat kita lebih pasti” kata Hatta mengenai pemenjaraannya.

Dari sekian pengasingan Hatta, tempat yang terbilang paling buruk yaitu ketika di Boven Digul. Digul berada di kawasan pelosok Papua dikelilingi oleh hutan rimba. Selain berada jauh darimanapun, disana juga mencekam dengan adanya ancaman nyamuk malaria yang ganas. Penulis Biografi Hatta, Mavis Rose menyebut bahwa kondisi suasana Digul membikin Hatta yang biasanya tenang dan sabar menjadi mudah marah dan pelupa.

Menunjukkan gejala-gejala awal stres. Untuk menjaga kewarasan mentalnya, Hatta terus membaca dan menulis. Menuju ke Digul bukunya diangkut dalam belasan peti. Ia mengajarkan filsafat, ekonomi maupun sejarah pada para tahanan yang bersedia.

Dari pengasingannya, Hatta mengisahkan nestapa orang-orang buangan di Digul melalui tulisannya. Selanjutnya tulisan itu ia kirim ke koran Jakarta maupun Belanda. Akibat tulisannya itu akhirnya Hatta dipindahkan ke Pulau Banda Neira di Maluku yang kondisinya cenderung lebih baik guna melunakkannya.

3. Pramoedya

Banyak penyuka Novel begitu akrab dengan nama Pramoedya Ananta Toer. Terlebih setahun yang lalu salah satu novel terbaiknya telah difilmkan oleh Hanung Bramantyo yang berjudul Bumi Manusia. Tapi tahukah jika berbagai karya fenomenalnya justru lahir dari balik jeruji. Pramoedya lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah. Hampir separuh hidupnya dihabiskan didalam penjara.

Tiga tahun berada dalam penjara kolonial Belanda, 1 tahun ketika pemerintah orde lama, 14 tahun ketika orde baru yaitu 1965-1979 (Pulau Nusa-kambangan, Pulau Buru, Magelang/Banyumanik) tanpa proses pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S PKI, namun masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali selama seminggu selama kurang lebih 2 tahun.

Namun pemenjaraannya yang begitu panjang dan melelahkan tidak membuatnya berhenti untuk berkarya. Bahkan novel Tetralogi Buru yang terdiri atas Bumi Manusia, Anak semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang begitu fenomenal lahir dari ketekunannya dalam menulis di balik jeruji.

Keteguhannya telah melahirkan kurang lebih 50 karya berupa buku dan telah diterjemahkan kedalam lebih dari 42 bahasa asing. Penghargaan internasional yang diterimanya diantaranya yaitu The PEN Freedom-to-write Award pada 1988, Ramon Magsaysay Award pada 1995, Fukuoka Cultur Grand Pricce di Jepang tahun 2000 hingga beberapa kali namanya masuk dalam daftar kandidat pemenang Nobel Sastra.

Melihat begitu terjal dan sulitnya tantangan yang dihadapi oleh Soekarno, Hatta hingga Pramoedya untuk terus berjuang dan berkarya. Tentunya tetap berada di rumah hingga meredanya pandemi virus corona wajib direfleksikan sebagai bentuk perjuangan agar negara ini segera pulih. Selain itu, tetap berada dirumah bukan berarti tidak produktif. Baiknya harus tetap dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendekatkan diri kepada keluarga, kepada Tuhan, belajar, bekerja maupun berkarya.

Memanfaatkan begitu banyak fasilitas kemajuan teknologi dan kondisi yang jauh lebih baik dibanding yang dihadapi Soekarno, Hatta maupun Pramoedya. Selanjutnya mari kita berdo’a agar negeri ini segera membaik. Jangan lupa mengambil hikmah sehingga kejadian ini benar-benar akan melahirkan bangsa yang tangguh sebagaimana pendahulunya.

Oleh: Hamdi Rosyidi (Ketua DPD IMM Kalimantan Timur Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuwan).

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment